Selasa, 23 April 2013

SEPAK BOLA BERKARAKTER

Setelah kekalahan beruntun dari Yordania (uji coba 1-0), Iran (prapiala dunia, 3-0), bahkan kekalahan dari timnas Bahrain di kandang sendiri (prapiala dunia 2-0), orang kembali teringat pada sosok pelatih bertangan dingin, dengan penampilan kaku tanpa umbaran emosi, Alfred Riedl. Harus diakui bahwa era Riedl adalah era kebangkitan sepak bola Indonesia. Dia telah memberi karakter pada timnas Indonesia. Pantas kalau banyak orang berteriak menginginkan kembalinya Riedl menata tim yang sudah mulai apik dulu. Sayang Riedl muncul pada zaman yang salah, saat berlangsung perseteruan di tubuh PSSI. Dia lalu menjadi korban persetuan justru karena berpegang pada prinsipnya sendiri. Itulah sesungguhnya tipe manusia berkarakter. Sepertinya para petinggi di negeri ini gerah dengan orang-orang yang berkarakter.
Sebagai pelatih yang berkarakter Riedl telah membangun sepak bola berkarakter. Sepak bola Indonesia harus menjadi sepak bola yang berkarakter. Bisa kita amati bahwa tim-tim sepak bola yang berjaya di dunia adalah tim-tim berkarakter yang dibangun oleh pelatih-pelatih ternama seperti Rinus Michels (Belanda), Helmut Schön (Jerman), Enzo Bearzot (Italia), Sir Bobby Robson (Inggris) Cesar Luis Menotti (Argentina). Tim panser terkenal dengan keuletan mentalnya. Tim kincir angin dengan total footballnya. Brazil dengan gaya zamba, Inggris dengan kick and rush, Italia dengan cattenacio, Argentina dengan tanggo-nya, Spanyol dengan kelincahan mengalirkan bola dari kaki ke kaki, tim ginseng dengan staminanya yang prima. Semua karakter sepak bola itu sangat menempel pada karakter bangsanya.
Dalam konteks Indonesia tampaknya Riedl pun mulai membangun sepak bola berkarakter. Dan pada prinsipnya karakter dibangun di atas nilai. Tanpa nilai karakter mustahil dibangun, karena berdasarkan nilai itulah orang membangun prinsip dan pada gilirannya membangun pribadi yang terpadu dan integral.
Disiplin
Nilai menonjol yang dibangun Riedl untuk tim khas Indonesia adalah disiplin. Dia tahu kelemahan tim Indonesia dengan skill individu yang belum setaraf tim-tim sepak bola Asia Tenggara apalagi Asia. Maka yang dia bangun adalah kedisiplinan, untuk menciptakan ketangguhan sebagai tim. Itu bisa terlihat ketika timnas kita berlaga dalam piala AFF. Karenanya, walaupun kemampuan individual timnas kita pas-pasan, dia bisa menghasilkan sinergi dan meraih kekuatan yang lebih besar dari jumlah kekuatan masing-masing individu. Karena alasan disiplin pula Riedl tak segan-segan menolak Boaz, walaupun kemampuan individual striker produktif itu tidak perlu diragukan untuk masuk dalam timnas.
Dia sangat mengenal kekuatan dan kelemahan timnya, sehingga dia tahu dari mana tim harus dibangun. Dan hasilnya terlihat, timnas sangat menggairahkan. Tampak anak-anak asuh Riedl itu begitu disiplin mengejar dan merebut bola, menempel lawan, dan tidak memberikan ruang gerak pada lawan untuk mengembangkan kemampuannya. Hasilnya, mereka sukses menekuk Malaysia dengan skor telak 5-1, walaupun di final tim Garuda kalah agregat. Mereka berhasil menaklukkan Filipina yang kemampuan individual pemainnya rata-rata di atas tim Garuda. Bahkan tim tangguh sekelas Thailand pun berhasil ditekuk, dan ironisnya berakibat pada lolosnya Malaysia yang kemudian melenggang sampai ke final dan malah menjadi juara AFF.
Sayang pembangunan karakter itu sepertinya melempem bersama dengan penyingkiran Riedl dari timnas. Penyingkiran itu pun terkesan tidak disiplin dan tidak berkarakter, bahkan cenderung memalukan. Tak kalah memalukan sebenarnya dibanding petasan dan kembang apinya para supporter yang frustrasi melihat timnas garuda kehilangan gregetnya. Tetapi hanya kembang apilah yang membuat presiden marah, dan bukan tindakan tidak adil yang dilakukan PSSI terhadap Riedl. Alih-alih diberi bonus karena telah membangkitkan sepak bola Indonesia, Riedl malah sedang dinegosiasi untuk negoisasi kontrak. Ironis memang. Inilah cara berpikir tidak disiplin yang bukan tidak mustahil (tetapi mudah-mudah mustahil) menular pada karakter tim sepak bola nasional kita.
Miniatur Indonesia
Saya membayangkan Riedl membangun sepak bola Indonesia menjadi semacam miniatur bangsa Indonesia. Melalui kedisiplinan dalam sepak bola, bangsa ini bisa belajar disiplin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disiplin tentu saja bukan nilai fragmentaris yang terlepas dari nilai-nilai lainnya. Dalam kedisiplinan mesti ada nilai kejujuran, otentisitas, keadilan (baik fairness maupun justice), ketekunan, saling menghargai.  Salah urus negeri ini telah ikut-ikutan merasuki dan merusaki sepak bola. Maka kalau sepak bola dibangun sebagai dunia sendiri, dia akan menjadi contoh untuk pembangunan bangsa ini. Posisi Riedl dalam hal ini sangat jelas. Sepak bola harus dilepaskan dari politik. Gurita korupsi dan keserakahan dalam dunia politik, hukum, ekonomi, tidak boleh mencemarkan kesucian sepak bola.
Sepak bola itu berkaitan dengan otentisitas. Dalam sepak bola orang harus menunjukkan keaslian dan kesejatiannya. Di sana tidak ada kemunafikan, kepura-puraan. Dalam sepak bola orang tidak bisa sok, berlagak, alias berkamuflase. Pura-pura jago, pura-pura cedera, pura-pura dilanggar, semuanya tabu dalam dunia sepak bola. Dalam sepak bola tidak ada  nyontek, plagiarisme, pembajakan kemampuan orang lain, dan tidak boleh ada rekayasa.
Otentisitas sepak bola itu sama dengan otentisitas dalam pertobatan, dan dalam keyakinan. Orang tidak bisa dipaksa untuk bertobat. Tobat harus datang dari hati. Orang yang bertobat karena diancam dan disiksa, sebenarnya tidak bertobat melainkan bertakut. Tidak bedanya dengan kucing yang tidak berani lagi mengambil ikan dari dapur bukan karena tobat melainkan karena takut dipukul atau ditendang tuannya. Begitu juga orang yang berpura-pura yakin atau dipaksa/disuruh yakin, sebenarnya kan berarti tidak yakin. Dia hanya ikut-ikutan, tidak punya prinsip, dan gampang diperalat, dimanipulasi, dan diprovokasi.
Pantas kalau sepak bola itu dianalogikan dengan agama, bahkan lebih dari agama. Dalam agama Anda bisa berpura-pura, atau sok alim, sok saleh (walaupun hanya di mata manusia, bukan di mata Tuhan), tetapi dalam sepak bola Anda tidak bisa berlagak sok jago. Karena otentisitas Anda akan diuji tidak hanya oleh lawan, melainkan oleh pelatih dan ribuan penonton di pinggir lapangan yang menyaksikan otentisitas dan kesejatian Anda.
Maka membangun sepak bola berkarakter harus menjadi bagian dari membangun bangsa dan manusia-manusia yang berkarakter. Dan ketika sepak bola sedang menjadi primadona bagi, dan meraup fokus perhatian dari, sebagian terbesar masyarakat Indonesia saat ini, tampak sekali betapa besarnya peran sepak bola dalam berbuat sesuatu bagi bangsa dan negara ini. Benahilah sepak bola kita, ciptakan sepak bola yang berkarakter, maka sepak bola akan melakukan sesuatu yang besar bagi bangsa ini.
Sumber : http://molansio.wordpress.com/2011/09/08/sepak-bola-berkarakter/

0 komentar:

Posting Komentar