Setelah kekalahan beruntun dari Yordania (uji coba 1-0), Iran
(prapiala dunia, 3-0), bahkan kekalahan dari timnas Bahrain di kandang
sendiri (prapiala dunia 2-0), orang kembali teringat pada sosok pelatih
bertangan dingin, dengan penampilan kaku tanpa umbaran emosi, Alfred
Riedl. Harus diakui bahwa era Riedl adalah era kebangkitan sepak bola
Indonesia. Dia telah memberi karakter pada timnas Indonesia. Pantas
kalau banyak orang berteriak menginginkan kembalinya Riedl menata tim
yang sudah mulai apik dulu. Sayang Riedl muncul pada zaman yang salah,
saat berlangsung perseteruan di tubuh PSSI. Dia lalu menjadi korban
persetuan justru karena berpegang pada prinsipnya sendiri. Itulah
sesungguhnya tipe manusia berkarakter. Sepertinya para petinggi di
negeri ini gerah dengan orang-orang yang berkarakter.
Sebagai pelatih yang berkarakter Riedl telah membangun sepak bola
berkarakter. Sepak bola Indonesia harus menjadi sepak bola yang
berkarakter. Bisa kita amati bahwa tim-tim sepak bola yang berjaya di
dunia adalah tim-tim berkarakter yang dibangun oleh pelatih-pelatih
ternama seperti Rinus Michels (Belanda), Helmut Schön (Jerman), Enzo
Bearzot (Italia), Sir Bobby Robson (Inggris) Cesar Luis Menotti
(Argentina). Tim panser terkenal dengan keuletan mentalnya. Tim kincir
angin dengan total footballnya. Brazil dengan gaya zamba, Inggris dengan
kick and rush, Italia dengan cattenacio, Argentina dengan tanggo-nya,
Spanyol dengan kelincahan mengalirkan bola dari kaki ke kaki, tim
ginseng dengan staminanya yang prima. Semua karakter sepak bola itu
sangat menempel pada karakter bangsanya.
Dalam konteks Indonesia tampaknya Riedl pun mulai membangun sepak
bola berkarakter. Dan pada prinsipnya karakter dibangun di atas nilai.
Tanpa nilai karakter mustahil dibangun, karena berdasarkan nilai itulah
orang membangun prinsip dan pada gilirannya membangun pribadi yang
terpadu dan integral.
Disiplin
Nilai menonjol yang dibangun Riedl untuk tim khas Indonesia adalah
disiplin. Dia tahu kelemahan tim Indonesia dengan skill individu yang
belum setaraf tim-tim sepak bola Asia Tenggara apalagi Asia. Maka yang
dia bangun adalah kedisiplinan, untuk menciptakan ketangguhan sebagai
tim. Itu bisa terlihat ketika timnas kita berlaga dalam piala AFF.
Karenanya, walaupun kemampuan individual timnas kita pas-pasan, dia bisa
menghasilkan sinergi dan meraih kekuatan yang lebih besar dari jumlah
kekuatan masing-masing individu. Karena alasan disiplin pula Riedl tak
segan-segan menolak Boaz, walaupun kemampuan individual striker
produktif itu tidak perlu diragukan untuk masuk dalam timnas.
Dia sangat mengenal kekuatan dan kelemahan timnya, sehingga dia tahu
dari mana tim harus dibangun. Dan hasilnya terlihat, timnas sangat
menggairahkan. Tampak anak-anak asuh Riedl itu begitu disiplin mengejar
dan merebut bola, menempel lawan, dan tidak memberikan ruang gerak pada
lawan untuk mengembangkan kemampuannya. Hasilnya, mereka sukses menekuk
Malaysia dengan skor telak 5-1, walaupun di final tim Garuda kalah
agregat. Mereka berhasil menaklukkan Filipina yang kemampuan individual
pemainnya rata-rata di atas tim Garuda. Bahkan tim tangguh sekelas
Thailand pun berhasil ditekuk, dan ironisnya berakibat pada lolosnya
Malaysia yang kemudian melenggang sampai ke final dan malah menjadi
juara AFF.
Sayang pembangunan karakter itu sepertinya melempem bersama dengan
penyingkiran Riedl dari timnas. Penyingkiran itu pun terkesan tidak
disiplin dan tidak berkarakter, bahkan cenderung memalukan. Tak kalah
memalukan sebenarnya dibanding petasan dan kembang apinya para supporter
yang frustrasi melihat timnas garuda kehilangan gregetnya. Tetapi hanya
kembang apilah yang membuat presiden marah, dan bukan tindakan tidak
adil yang dilakukan PSSI terhadap Riedl. Alih-alih diberi bonus karena
telah membangkitkan sepak bola Indonesia, Riedl malah sedang dinegosiasi
untuk negoisasi kontrak. Ironis memang. Inilah cara berpikir tidak
disiplin yang bukan tidak mustahil (tetapi mudah-mudah mustahil) menular
pada karakter tim sepak bola nasional kita.
Miniatur Indonesia
Saya membayangkan Riedl membangun sepak bola Indonesia menjadi
semacam miniatur bangsa Indonesia. Melalui kedisiplinan dalam sepak
bola, bangsa ini bisa belajar disiplin dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Disiplin tentu saja bukan nilai fragmentaris yang terlepas
dari nilai-nilai lainnya. Dalam kedisiplinan mesti ada nilai kejujuran,
otentisitas, keadilan (baik fairness maupun justice),
ketekunan, saling menghargai. Salah urus negeri ini telah ikut-ikutan
merasuki dan merusaki sepak bola. Maka kalau sepak bola dibangun sebagai
dunia sendiri, dia akan menjadi contoh untuk pembangunan bangsa ini.
Posisi Riedl dalam hal ini sangat jelas. Sepak bola harus dilepaskan
dari politik. Gurita korupsi dan keserakahan dalam dunia politik, hukum,
ekonomi, tidak boleh mencemarkan kesucian sepak bola.
Sepak bola itu berkaitan dengan otentisitas. Dalam sepak bola orang
harus menunjukkan keaslian dan kesejatiannya. Di sana tidak ada
kemunafikan, kepura-puraan. Dalam sepak bola orang tidak bisa sok,
berlagak, alias berkamuflase. Pura-pura jago, pura-pura cedera,
pura-pura dilanggar, semuanya tabu dalam dunia sepak bola. Dalam sepak
bola tidak ada nyontek, plagiarisme, pembajakan kemampuan orang lain,
dan tidak boleh ada rekayasa.
Otentisitas sepak bola itu sama dengan otentisitas dalam pertobatan,
dan dalam keyakinan. Orang tidak bisa dipaksa untuk bertobat. Tobat
harus datang dari hati. Orang yang bertobat karena diancam dan disiksa,
sebenarnya tidak bertobat melainkan bertakut. Tidak bedanya dengan
kucing yang tidak berani lagi mengambil ikan dari dapur bukan karena
tobat melainkan karena takut dipukul atau ditendang tuannya. Begitu juga
orang yang berpura-pura yakin atau dipaksa/disuruh yakin, sebenarnya
kan berarti tidak yakin. Dia hanya ikut-ikutan, tidak punya prinsip, dan
gampang diperalat, dimanipulasi, dan diprovokasi.
Pantas kalau sepak bola itu dianalogikan dengan agama, bahkan lebih
dari agama. Dalam agama Anda bisa berpura-pura, atau sok alim, sok saleh
(walaupun hanya di mata manusia, bukan di mata Tuhan), tetapi dalam
sepak bola Anda tidak bisa berlagak sok jago. Karena otentisitas Anda
akan diuji tidak hanya oleh lawan, melainkan oleh pelatih dan ribuan
penonton di pinggir lapangan yang menyaksikan otentisitas dan kesejatian
Anda.
Maka membangun sepak bola berkarakter harus menjadi bagian dari
membangun bangsa dan manusia-manusia yang berkarakter. Dan ketika sepak
bola sedang menjadi primadona bagi, dan meraup fokus perhatian dari,
sebagian terbesar masyarakat Indonesia saat ini, tampak sekali betapa
besarnya peran sepak bola dalam berbuat sesuatu bagi bangsa dan negara
ini. Benahilah sepak bola kita, ciptakan sepak bola yang berkarakter,
maka sepak bola akan melakukan sesuatu yang besar bagi bangsa ini.
Sumber : http://molansio.wordpress.com/2011/09/08/sepak-bola-berkarakter/
0 komentar:
Posting Komentar